Putin Sebut Pemimpin Rusia Berikutnya Harus Veteran Perang Ukraina - Sin
3 min read
Dunia Internasional,
Putin Sebut Pemimpin Rusia Berikutnya Harus Veteran Perang Ukraina
Jum'at, 19 September 2025 - 08:28 WIB
Presiden Vladimir Putin sebut pemimpin Rusia berikutnya harus veteran perang Ukraina. Foto/Kremlin.ru
A
A
A
MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin angkat bicara soal pemimpin negara penerus dirinya. Dia mengatakan generasi penerus kepemimpinan politik negaranya haruslah veteran perang Ukraina atau orang Rusia yang telah berperang melawan Ukraina.
Putin menyampaikan komentar tersebut dalam pertemuan dengan berbagai faksi di Duma Negara Rusia dan berbicara tentang partisipasi veteran perang Ukraina dalam pemilihan umum (Pemilu).
Menurut laporan Newsweek, ruang untuk perbedaan pendapat atau oposisi politik yang signifikan di Rusia di bawah Putin sangat terbatas, dan partai Rusia Bersatu yang berafiliasi erat dengannya memegang kendali yang kuat.
Baca Juga: Putin Kecam Trump karena Perlakukan China dan India seperti Jajahan
Tuntutan tentang sosok suksesor menandakan menguatnya nasionalisme garis keras Rusia yang mendominasi kekuasaan politik di bawah Putin, dan memicu kembali Perang Dingin Moskow dengan Barat, sebuah budaya yang kemungkinan akan bertahan setelah kelengserannya nanti.
"Kita harus mencari, menemukan, dan mengajukan orang-orang yang berani mengabdi kepada Tanah Air dan yang bersedia mempertaruhkan kesehatan dan bahkan nyawa mereka," kata Putin, seperti dikutip dari kantor berita TASS, Jumat (19/9/2025).
"Orang-orang seperti itu harus dipromosikan ke posisi kepemimpinan. Mereka akan menjadi penerus kita. Ini adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan. Dan terima kasih telah mengajukan orang-orang seperti itu," ujarnya.
Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Februari 2022 dan telah mengerahkan ratusan ribu orang untuk bertempur, bahkan membebaskan tahanan dari hukuman mereka lebih awal untuk bertugas di garis depan yang melelahkan.
Rusia tidak secara teratur mempublikasikan angka kerugian pasukannya, tetapi BBC dan media independen Rusia; Mediazona, memperkirakan setidaknya 130.150 personel sejauh ini.
Mereka yang selamat terkadang pulang dengan trauma yang mendalam, menciptakan gelombang baru masalah sosial yang harus ditangani negara Rusia, termasuk kejahatan kekerasan, dalam upayanya untuk mengintegrasikan kembali para veteran.
"Secara keseluruhan, mungkin lebih dari 1,5 juta pria dan wanita Rusia telah berpartisipasi dalam perang pada awal tahun 2025," ujar Mark Galeotti, pakar Rusia asal Inggris yang menulis laporan tentang isu ini untuk Inisiatif Global melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, kepada Reuters.
"Seiring semakin banyaknya veteran yang didemobilisasi dan kembali ke tanah air, Rusia akan menghadapi gelombang veteran...yang menanggung dampak psikologis perang," ujarnya.
Perang terus berlanjut meskipun ada desakan dari Presiden AS Donald Trump untuk menengahi kesepakatan damai.
Rusia telah merebut sekitar seperlima wilayah Ukraina sejauh ini. Rusia menolak tawaran gencatan senjata dari Ukraina, dengan mengatakan lebih memilih untuk langsung mencapai kesepakatan.
Namun, masih ada dua poin perbedaan utama, yaitu konsesi teritorial dan arsitektur keamanan Ukraina di masa depan, yang tidak mudah didamaikan.
Rusia mengatakan pihaknya melancarkan invasi untuk menghalangi ambisi Ukraina bergabung dengan NATO—yang dianggapnya sebagai ancaman keamanan utama—dan untuk melindungi etnis Rusia dari apa yang disebutnya sebagai penganiayaan di Ukraina.
Namun Ukraina menuduh Rusia melakukan perang penaklukan ala kekaisaran, serta berusaha menghapus kedaulatan dan identitas Ukraina dengan menyerahkan negara itu di bawah kendali Moskow.
Putin menyampaikan komentar tersebut dalam pertemuan dengan berbagai faksi di Duma Negara Rusia dan berbicara tentang partisipasi veteran perang Ukraina dalam pemilihan umum (Pemilu).
Menurut laporan Newsweek, ruang untuk perbedaan pendapat atau oposisi politik yang signifikan di Rusia di bawah Putin sangat terbatas, dan partai Rusia Bersatu yang berafiliasi erat dengannya memegang kendali yang kuat.
Baca Juga: Putin Kecam Trump karena Perlakukan China dan India seperti Jajahan
Tuntutan tentang sosok suksesor menandakan menguatnya nasionalisme garis keras Rusia yang mendominasi kekuasaan politik di bawah Putin, dan memicu kembali Perang Dingin Moskow dengan Barat, sebuah budaya yang kemungkinan akan bertahan setelah kelengserannya nanti.
"Kita harus mencari, menemukan, dan mengajukan orang-orang yang berani mengabdi kepada Tanah Air dan yang bersedia mempertaruhkan kesehatan dan bahkan nyawa mereka," kata Putin, seperti dikutip dari kantor berita TASS, Jumat (19/9/2025).
"Orang-orang seperti itu harus dipromosikan ke posisi kepemimpinan. Mereka akan menjadi penerus kita. Ini adalah sesuatu yang perlu kita pikirkan. Dan terima kasih telah mengajukan orang-orang seperti itu," ujarnya.
Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada Februari 2022 dan telah mengerahkan ratusan ribu orang untuk bertempur, bahkan membebaskan tahanan dari hukuman mereka lebih awal untuk bertugas di garis depan yang melelahkan.
Rusia tidak secara teratur mempublikasikan angka kerugian pasukannya, tetapi BBC dan media independen Rusia; Mediazona, memperkirakan setidaknya 130.150 personel sejauh ini.
Mereka yang selamat terkadang pulang dengan trauma yang mendalam, menciptakan gelombang baru masalah sosial yang harus ditangani negara Rusia, termasuk kejahatan kekerasan, dalam upayanya untuk mengintegrasikan kembali para veteran.
"Secara keseluruhan, mungkin lebih dari 1,5 juta pria dan wanita Rusia telah berpartisipasi dalam perang pada awal tahun 2025," ujar Mark Galeotti, pakar Rusia asal Inggris yang menulis laporan tentang isu ini untuk Inisiatif Global melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, kepada Reuters.
"Seiring semakin banyaknya veteran yang didemobilisasi dan kembali ke tanah air, Rusia akan menghadapi gelombang veteran...yang menanggung dampak psikologis perang," ujarnya.
Perang terus berlanjut meskipun ada desakan dari Presiden AS Donald Trump untuk menengahi kesepakatan damai.
Rusia telah merebut sekitar seperlima wilayah Ukraina sejauh ini. Rusia menolak tawaran gencatan senjata dari Ukraina, dengan mengatakan lebih memilih untuk langsung mencapai kesepakatan.
Namun, masih ada dua poin perbedaan utama, yaitu konsesi teritorial dan arsitektur keamanan Ukraina di masa depan, yang tidak mudah didamaikan.
Rusia mengatakan pihaknya melancarkan invasi untuk menghalangi ambisi Ukraina bergabung dengan NATO—yang dianggapnya sebagai ancaman keamanan utama—dan untuk melindungi etnis Rusia dari apa yang disebutnya sebagai penganiayaan di Ukraina.
Namun Ukraina menuduh Rusia melakukan perang penaklukan ala kekaisaran, serta berusaha menghapus kedaulatan dan identitas Ukraina dengan menyerahkan negara itu di bawah kendali Moskow.
(mas)