Trump Jegal Negara-negara Pembeli Minyak Rusia, Risiko Perang Makin Besar? | SINDOnews
Dunia Internasional, Konflik Rusia Ukraina,
Trump Jegal Negara-negara Pembeli Minyak Rusia, Risiko Perang Makin Besar? | Halaman Lengkap

Makin mudah baca berita nasional dan internasional.
Jum'at, 08 Agustus 2025 - 16:46 WIB
AS mengancam akan mengenakan tarif tinggi bagi negara-negara pengimpor minyak dari Rusia. FOTO/VCO
- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menggunakan ancaman tarif sebagai instrumen kebijakan luar negeri, kali ini menargetkan negara-negara pembeli minyak Rusia. Langkah tersebut dilakukan untuk menekan Moskow agar segera menyetujui perdamaian di Ukraina.
Pemerintah AS telah mengambil langkah awal pada Rabu (7/8) dengan menggandakan tarif atas barang-barang dari India, dari 25 persen menjadi 50 persen. India diketahui menjadi salah satu pembeli utama minyak Rusia setelah sanksi Barat diberlakukan pasca invasi ke Ukraina.
Meski belum ada kesepakatan yang diteken dengan China, importir minyak Rusia terbesar, Gedung Putih menyatakan Trump kemungkinan akan mengumumkan sanksi tambahan terhadap negara-negara lain yang masih membeli minyak Rusia.
Ini bukan kali pertama Trump menggunakan tarif untuk mendorong agenda politik di luar perdagangan. Sebelumnya, ia pernah mengancam Brasil, Denmark, hingga Kanada terkait isu-isu seperti Greenland, fentanyl, dan mantan Presiden Jair Bolsonaro.
Kebijakan tarif sekunder ini diperkirakan akan memberikan tekanan ekonomi signifikan bagi Rusia, mengingat penjualan minyak merupakan salah satu sumber utama pembiayaan perang Presiden Vladimir Putin. Namun, kebijakan tersebut juga menyimpan risiko politik bagi Trump menjelang pemilu sela tahun depan.
Kenaikan harga minyak sebagai dampak kebijakan bisa membebani ekonomi domestik AS. Selain itu, kebijakan ini dikhawatirkan memperumit negosiasi dagang AS dengan India dan China, dua negara yang kini memiliki posisi tawar tinggi sebagai pembeli energi utama dunia.
Baca Juga: Pertarungan BRICS vs AS Dimulai: Rusia, China hingga India Jadi Target Utama
Eugene Rumer, mantan analis intelijen AS untuk Rusia, menyatakan kecil kemungkinan Putin akan tunduk pada tekanan tarif ini. "Secara teori, menghentikan pembelian minyak oleh India dan China bisa memukul ekonomi Rusia. Tapi itu tidak akan terjadi," ujarnya dikutip dari Reuters, Jumat (8/8).
Rumer menambahkan, China telah memberikan sinyal akan terus membeli minyak dari Rusia meski ada tekanan tarif dari AS. Sejak akhir 2022, Rusia memang terpaksa mengalihkan ekspor minyaknya dari Eropa ke Asia dengan harga diskon menyusul kebijakan batas harga yang diberlakukan negara-negara Barat.
Langkah tersebut membuat Rusia tetap bisa menyalurkan minyak ke pasar global, meski dengan pendapatan yang menurun. Namun, tarif tambahan dari AS kini mengancam strategi tersebut.
Gedung Putih menyebut kemungkinan pertemuan antara Trump dan Putin bisa terjadi pekan depan, usai pembicaraan antara utusan AS Steve Witkoff dan Presiden Rusia pada Rabu. Namun, analis skeptis bahwa Moskow bersedia mengakhiri agresinya di Ukraina.
Baca Juga: Sudah Digebuk Tarif 19%, 4 Mineral Kritis Indonesia Ini Juga Bisa Diakses AS
Brett Bruen, mantan penasihat Presiden Barack Obama, menilai sanksi dan tarif memang dapat melemahkan ekonomi Rusia, namun tidak serta-merta memaksa perubahan kebijakan Putin. “Pertanyaannya, apakah ini cukup untuk mengubah perilaku Putin,” kata dia.
Kimberly Donovan, mantan pejabat Departemen Keuangan AS, menilai kebijakan ini juga bisa merusak hubungan bilateral AS dengan India dan China. "Mereka tahu AS membutuhkan mereka, dan itu memberi mereka ruang untuk menolak," katanya.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com,
Klik Disiniuntuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya
Infografis

Rusia Akui Kerahkan Tentara Korut dalam Perang Lawan Ukraina