Tarif Trump Runtuhkan Industri Garmen China, Ekspor ke AS Anjlok Drastis | SINDONEWS
Tarif Trump Runtuhkan Industri Garmen China, Ekspor ke AS Anjlok Drastis | Halaman Lengkap

Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump runtuhkan industri Garmen China. Ekspor pakaian China ke AS anjlok drastis. Foto/China Daily/Wang Junwei
- Sektor tekstil dan fesyen
Chinaterpukul akibat ketidakpastian dan gangguan yang ditimbulkan tarif impor Amerika Serikat (AS), yang menyebabkan penutupan pabrik, hilangnya lapangan kerja, serta penurunan ekspor. Banyak pabrik garmen memangkas karyawan, memperpendek jam kerja, dan beralih ke tenaga kerja sementara demi bertahan dari tekanan finansial.
“Seluruh industri sedang kesulitan, dan sekarang ada tarif tinggi pada barang-barang China karena perang dagang. Banyak klien asing mengurangi pesanan dari China,” kata Qiu, seorang buruh dari Desa Panyu di Guangzhou.
Pada Mei 2025, nilaiekspor pakaian China ke AS jatuh ke level terendah dalam 22 tahun terakhir, seiring para pengecer Amerika beralih ke Vietnam, Bangladesh, India, dan negara lain.
Baca Juga: Viral, Turis China Potong Antrean di Universal Studios Singapore: 'Tanpa China, Singapura Tak Ada'
“Penurunan tajam impor pakaian dari China ke AS pada Mei 2025 jelas bukan hal yang alami,” kata Sheng Lu, profesor studi fesyen dan apparel di University of Delaware, dikutip dari Times of Oman, Sabtu (23/8/2025).
Guangzhou, pusat industri fesyen cepat dunia yang mempekerjakan jutaan orang, ikut terdampak. Peritel ultra-fast fashion Shein yang berbasis di kota itu kehilangan lebih dari 50 persen pesanan sejak isu tarif muncul.
“Dampaknya sangat nyata. Tarif bukan sesuatu yang akan berakhir dalam waktu dekat, dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” ucap Sheng.
Impor Tekstil Terhenti
Sebuah klaster desa di Guangzhou dengan sekitar 5.000 bengkel dan pabrik garmen dikenal sebagai "desa Shein" karena menjadi bagian penting rantai pasok perusahaan tersebut.
Tarif era Trump menghapuskan pembebasan pajak untuk pengiriman internasional bernilai di bawah USD800, membuat banyak produsen tekstil China kehilangan pasar seiring anjloknya permintaan Amerika.
Zhang, eksportir pakaian yoga dari Dongguan, mengatakan bisnisnya terpukul berat karena pesanan ditunda klien di AS. “Segera setelah Trump mengumumkan tarif berat, banyak perusahaan AS menghentikan impor tekstil dari China,” tutur Ryan Zhao, direktur Jiangsu Green Willow Textile.
Baca Juga: China Batasi Pergerakan Warga Tibet di Ulang Tahun ke-90 Dalai Lama
“Sekarang kami mengembangkan pelanggan di Asia Tenggara, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS,” ujar Zhao.
Dengan kecilnya kemungkinan situasi kembali normal, sejumlah perusahaan tekstil besar China mempertimbangkan relokasi. “Kalau tarif AS terlalu tinggi, kami tidak bisa melanjutkan. Saya pasti akan beralih ke pasar lain,” sebut Yao, seorang manajer pabrik garmen.
Dari status sebagai pemasok pakaian terbesar beberapa tahun lalu, ekspor China kini anjlok ke titik terendah, hanya 9,9 persen pada Mei tahun ini. Pangsa impor pakaian dari daratan China ke AS juga turun menjadi 21,0 persen dalam 12 bulan terakhir, dari 33,8 persen pada 2017.
Perjuangan Pelaku Usaha China
Alan Zhang, seorang migran desa, dulu bisa memperoleh RMB400 per hari di salah satu pabrik garmen Guangzhou. Kini dia kesulitan mendapat setengah dari jumlah itu.
“Kalau cuma beberapa ratus yuan, saya tidak akan ambil. Tiba-tiba sangat sulit mencari kerja. Harga pesanan jatuh dengan cepat,” katanya. Shein pun terpukul berat, dan karena tidak memiliki basis konsumen domestik, vendor-vendornya ikut terkena imbas.
“Pesanan dari Shein turun tahun ini, dan penjualan kami merosot drastis,” ujar seorang pekerja bengkel.
China memiliki mekanisme perlindungan buruh yang lemah, membuat pekerja mudah tereksploitasi.
“Pekerja industri garmen di China umumnya tidak punya hari libur. Mereka dibayar per potong, jadi mereka bekerja sebanyak mungkin selama masih ada pesanan,” kata Li Qiang, pendiri LSM China Labor Watch.
Industri manufaktur tekstil tak lagi menjadi mesin penggerak ekonomi China. Pemerintah Beijing pun seakan mengabaikan sektor ini meski sedang berjuang bertahan di tengah perang dagang.
“Pemerintah China sudah tidak mendukung industri ringan atau usaha kecil semacam ini. Sangat sulit untuk tetap bertahan,” ujar Li Jun, seorang pemilik pabrik denim.
(mas)