Siapa Jaish al-Adl? Kelompok Pejuang yang Dituding sebagai Kaki Tangan CIA dan Mossad untuk Mengguncang Iran | SINDOnews
Dunia Internasional, Konflik Timur Tengah,
Siapa Jaish al-Adl? Kelompok Pejuang yang Dituding sebagai Kaki Tangan CIA dan Mossad untuk Mengguncang Iran | Halaman Lengkap

Jaish al-Adl dikenal sebagai kelompok pejuang yang dituding sebagai kaki tangan CIA dan Mossad. Foto/Press TV
- Kepala Kehakiman
Iran, Gholamhossein Mohseni Eje’i, pada hari Senin mengutuk serangan di gedung pengadilan di Iran tenggara oleh kelompok pejuang "Jaish al-Adl". Dia menegaskan bahwa tindakan kekerasan tersebut "tidak diragukan lagi didalangi oleh Amerika Serikat."
"Amerika Serikat yang kriminal adalah akar penyebab kejahatan teroris ini, sama seperti mereka mensponsori kekejaman Zionis di Gaza dan ketidakstabilan global," kata Eje’i sambil menyampaikan belasungkawa kepada keluarga enam korban.
Serangan terbaru di Zahedan, ibu kota Provinsi Sistan dan Baluchestan, mengakibatkan korban jiwa yang signifikan, dengan setidaknya 6 orang tewas dan 22 orang luka-luka.
Pasukan keamanan Iran dengan cepat merespons serangan yang terjadi pada Sabtu sore, melumpuhkan tiga orang bersenjata lengkap yang berafiliasi dengan kelompok "Jaish al-Adl".
Provinsi Sistan dan Baluchestan—yang sering menjadi sasaran terorisme—berbatasan dengan Pakistan dan telah berulang kali menghadapi serangan terhadap warga sipil dan personel keamanan.
Aksi terbaru ini terjadi beberapa minggu setelah agresi Israel-Amerika terhadap Republik Islam, yang gagal mencapai tujuannya, sementara bangsa Iran berdiri dengan berani dan bersatu.
Para ahli meyakini serangan hari Sabtu merupakan kelanjutan dari agresi yang sama yang dilakukan oleh kelompok yang bertindak sebagai proksi Washington dan Tel Aviv.
1. Sisa Jundallah
Yang disebut "Jaish al-Adl" muncul pada tahun 2012 dari sisa-sisa Jundallah, sebuah kelompok yang berbasis di Pakistan yang dibubarkan oleh pasukan keamanan Iran setelah penangkapan dan eksekusi pemimpinnya yang terkenal kejam, Abdolmalek Rigi, pada Juni 2010.
Melansir Press TV, Rigi, dalang di balik berbagai serangan mematikan di Iran, ditangkap pada Februari 2010 dalam penerbangan dari Dubai ke Kirgistan dan kemudian dieksekusi di Penjara Evin.
Otoritas peradilan Iran menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas pembunuhan setidaknya 154 personel keamanan dan warga sipil sejak tahun 2003, dan mempertahankan hubungan dengan badan intelijen asing.
Baca Juga: Konflik Dinasti Thaksin dan Hun Sen Picu Perang 2 Negara?
2. Memadukan Nasionalisme Baloch dan Takfirisme Salafi
Kelompok pejuang ini mengubah citranya untuk menjauhkan diri dari Jundallah sambil melanjutkan pemberontakannya. Ideologinya memadukan nasionalisme Baloch dengan Takfirisme Salafi.
"Jaish al-Adl" mengklaim memperjuangkan "kemerdekaan" Provinsi Sistan dan Baluchestan, meskipun operasinya yang sebenarnya terutama menyasar warga sipil dan kantor polisi untuk menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan.
Kelompok pejuang ini menggunakan penyergapan, alat peledak rakitan (IED), dan serangan lintas batas, memanfaatkan medan yang terjal. Kelompok ini diklasifikasikan sebagai organisasi oleh Iran, AS, Tiongkok, Pakistan, Jepang, Selandia Baru, dan Rusia.
Etos kekerasan kelompok ini dilambangkan dengan lambang hijau bergambar senapan serbu. Meskipun sebagian besar kepemimpinan "Jaish al-Adl" masih belum jelas, dua tokoh kunci telah diidentifikasi.
Yang pertama adalah Salahuddin Farooqui, pemimpin operasional kelompok yang memiliki ikatan kesukuan yang kuat dengan militan Baloch di Provinsi Balochistan, Pakistan. Ia secara terbuka mengadvokasi fragmentasi Iran dan mendukung keterlibatan militer Israel-Amerika di Suriah dan negara-negara regional lainnya.
Yang kedua adalah Mullah Omar Darakhshan, wakil Farooqui dan saudara mendiang Mullah Mauluk Darakhshan, pendiri milisi anti-Syiah Sipah-e-Rasool Allah pada tahun 1990-an yang berkolaborasi dengan kelompok-kelompok ekstremis yang berbasis di Pakistan.
Farooqui memimpin kelompok tersebut hingga ia tewas dalam operasi gabungan Pakistan-Iran pada 5 November 2024. Kepemimpinan saat ini masih belum jelas, dengan komandan kedua dan ketiga juga tewas dalam serangan itu.
3. Meminta Bantuan Pakistan
Iran telah berulang kali mendesak Pakistan untuk menindak kelompok pejuang yang beroperasi dari wilayahnya, terutama setelah serangkaian serangan lintas perbatasan dan penculikan.
Sumber-sumber intelijen Iran mengonfirmasi bahwa kelompok "Jaish al-Adl" menerima dukungan finansial dan militer yang substansial dari rezim Israel, AS, dan negara-negara Barat lainnya untuk melakukan tindakan agresi di wilayah Iran guna memicu ketidakstabilan dan ketidakamanan.
Ironisnya, meskipun didukung oleh negara-negara ini, "Jaish al-Adl" tetap ditetapkan sebagai organisasi oleh AS dan beberapa sekutunya, seperti Jepang dan Selandia Baru.
Hubungannya dengan aktor-aktor asing menunjukkan keselarasan yang jelas dengan kepentingan Barat dan Zionis. Tujuan kelompok ini antara lain menggulingkan pemerintah Iran dan mengganggu stabilitas regional.
Kelompok ini secara konsisten mendukung agenda-agenda Zionis, termasuk pembubaran Sudan, sambil menghindari kritik terhadap rezim atau AS. Pendanaannya berasal dari dukungan CIA dan Mossad, serta perdagangan narkoba.
Negara-negara besar, khususnya AS, secara instrumental mendukung kelompok-kelompok ekstremis tersebut sambil mempertahankan standar ganda, menurut sumber-sumber terpercaya. Situs web Takfiri yang dihosting di server Amerika mempromosikan kekerasan terhadap Muslim, tetapi ditutup jika menargetkan orang Barat.
4. Mewakili Faksi Ekstrimis Salafi-Wahabi
"Ini mencerminkan strategi kolonial intervensi tidak langsung—memicu konflik Muslim sambil menghindari keterlibatan langsung. Kecaman Barat terhadap terorisme tidak pernah mencakup pelarangan media Takfiri yang menghasut kekerasan," kata seorang sumber yang telah meneliti fenomena Takfirisme.
"Jaish al-Adl" mewakili faksi ekstremis Salafi-Wahabi yang secara aktif mendukung Suriah. Bagi AS, kelompok-kelompok semacam itu memiliki berbagai tujuan: mempertahankan pengaruh mereka, mempromosikan Islamofobia melalui media, mengalihkan perhatian dari isu-isu domestik, dan mengeksploitasi kemampuan militan.
Para pejuang ini dengan mudah memajukan kepentingan Amerika-Zionis di berbagai front—dari Kirgistan hingga Suriah—melalui kekerasan, pembantaian, dan menciptakan ketidakstabilan dengan kedok jihad.
Masa depan kelompok ini, menurut para analis keamanan, bergantung pada dukungan eksternal yang berkelanjutan dan nilai strategis yang diberikan para ekstremis kepada kekuatan Barat yang ingin mengganggu kawasan.
Aktivitas mereka selaras sempurna dengan tujuan untuk melemahkan Iran dan mempertahankan kendali melalui konflik rekayasa antar sekte Muslim.
Pada tahun 2008, mantan Panglima Angkatan Darat Pakistan, Mirza Aslam Baig, mengungkap dukungan AS terhadap Jundullah (pendahulu Jaish al-Adl), termasuk pelatihan militer bagi para pemberontak, dukungan finansial untuk mendestabilisasi Iran, dan upaya yang disengaja untuk memperburuk hubungan Iran-Pakistan.
5. Berafiliasi dengan ISIS dan Al Qaeda
Kelompok ini memiliki hubungan yang terdokumentasi dengan baik dengan Daesh (ISIS) dan Al-Qaeda, dengan karakteristik yang sama seperti ideologi ekstremis Takfiri, orientasi anti-Iran, dan metode operasional yang sama.
Dalam wawancara pada November 2023, juru bicara Jaish al-Adl, Hossein Baloch, secara terang-terangan menghindari kecaman atas serangan Daesh pada Oktober 2023 di kuil Shah Cheragh di Shiraz, dengan menyatakan: "Kami tidak ingin menjawab pertanyaan ini saat ini."
Tanggapan mengelak ini sangat menunjukkan adanya kolaborasi yang berkelanjutan dengan Daesh, potensi keterlibatan dalam serangan kuil tersebut, dan tujuan strategis bersama terhadap Iran.
6. Memiliki Hubungan dengan Mossad
Sumber keamanan Iran melaporkan bahwa kelompok Jaish al-Adl telah bersiap selama berminggu-minggu untuk melancarkan serangan terkoordinasi di Pelabuhan Chabahar di Iran tenggara.
Setelah mengetahui rencana serangan rezim pada Juni 2025 melalui kontak dengan Mossad, para militan tersebut bertujuan untuk memanfaatkan pengalihan pasukan militer Iran selama agresi Israel untuk menargetkan kota pelabuhan strategis tersebut.
Tujuan mereka termasuk merebut pos pemeriksaan polisi dan militer untuk menciptakan krisis keamanan besar, yang sejalan dengan tujuan Israel yang lebih luas untuk mendestabilisasi Republik Islam.
Namun, dinas intelijen Pakistan melakukan intervensi beberapa hari sebelum operasi yang direncanakan, memperingatkan otoritas Iran tentang serangan Israel yang akan datang dan rencana "Jaish al-Adl" di Chabahar.
Dalam respons cepat, pasukan Iran melakukan serangan pendahuluan menggunakan rudal dan drone terhadap posisi kelompok tersebut di perbatasan antara Iran dan Pakistan, yang berhasil menggagalkan rencana serangan tersebut.
Peningkatan aktivitas kelompok tersebut baru-baru ini tampaknya berkaitan langsung dengan operasi yang gagal ini.
Setelah agresi 12 hari terhadap Iran, kelompok tersebut melancarkan dua serangan: serangan terhadap kendaraan polisi di Chabahar yang menewaskan tiga petugas, dan serangan hari Sabtu di Zahedan, yang mengakibatkan enam orang tewas.
(ahm)