Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Dunia Internasional Featured Gaza Israel Konflik Timur Tengah

    10 Alasan Israel Selalu Gagal Menaklukkan Gaza | SINDONEWS

    8 min read

      Dunia Internasional, Konflik Timur Tengah, 

    10 Alasan Israel Selalu Gagal Menaklukkan Gaza | Halaman Lengkap


    Israel menggelar operasi darat di Kota Gaza. Foto/anadolu

    GAZA 

    - Sejak meletusnya berbagai putaran konflik antara Israel dan kelompok bersenjata di Gaza—mulai dari operasi besar pada 2008 hingga perang berkepanjangan pasca serangan 7 Oktober 2023—Israel berulang kali menyatakan tujuan untuk “menaklukkan” atau setidaknya menetralkan kekuatan Hamas di wilayah yang kecil namun sangat padat itu. Namun tujuan itu selalu gagal hingga saat ini.

    Meski mengerahkan kekuatan militer modern, teknologi canggih, dan dukungan dari sekutu utama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat, Israel selalu gagal mencapai kemenangan total.

    Gaza tetap bertahan sebagai pusat perlawanan, bahkan setelah gempuran udara, operasi darat, dan pengepungan yang menghancurkan infrastruktur sipil maupun militer.

    Kegagalan ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor militer, tetapi juga oleh kompleksitas sosial, politik, hukum internasional, hingga dinamika regional yang membuat “penaklukan Gaza” menjadi misi yang hampir mustahil dicapai dengan senjata saja.

    1. Medan Tempur Gaza: Terowongan Bawah Tanah Hamas

    Gaza adalah salah satu area perkotaan terpadat di dunia. Bertempur di “dense urban terrain” dikenal sebagai jenis perang paling sulit: garis pandang pendek, banyak titik tembak dari gedung ke gedung, risiko jebakan 360°, serta kebutuhan infanteri besar untuk menguasai tiap blok dan mempertahankannya dari serangan balik kecil namun berulang.

    Analis militer menekankan, di lingkungan seperti ini, keuntungan teknologi modern menyusut karena kontak dekat meminimalkan manfaat ISR dan daya tembak jarak jauh.

    Kesulitan itu berlipat karena Gaza punya jaringan terowongan bawah tanah (“Gaza metro”) yang sangat luas, berlapis, dan saling terhubung dengan ribuan lubang akses yang muncul di dalam rumah, masjid, sekolah, dan fasilitas sipil.

    Estimasi kredibel menempatkan panjang jaringan antara 350–450 mil (560–720 km), bahkan ada estimasi 500–600 km; kedalaman bervariasi dari beberapa meter hingga puluhan meter, diperkuat beton, dialiri listrik/ventilasi, dan dipakai untuk manuver, komando, penyimpanan, serta menahan sandera.

    Menghancurkan terowongan memakan waktu, logistik, dan amunisi khusus; menutup satu poros sering melahirkan tiga poros baru.

    Ini membuat “penguasaan wilayah” di atas permukaan tidak pernah berarti penghancuran kemampuan tempur di bawah tanah.

    2. Tujuan Perang Israel yang Berubah-ubah dan Ambigu

    Sejak awal, Israel menyatakan tujuan “menghancurkan Hamas” sekaligus membebaskan sandera, menghentikan tembakan roket, dan menciptakan tatanan baru di Gaza.

    Dalam praktiknya, tujuan-tujuan ini sering berbenturan—misalnya, operasi intensif untuk memburu komando Hamas meningkatkan risiko bagi sandera; sementara penghentian operasi untuk memberi ruang negosiasi menyisakan kantong-kantong Hamas tetap utuh.

    Ketika tujuan bergerak antara penghukuman, pembasmian, deteren, dan rekayasa politik, desain kampanye sulit konsisten dan garis “akhir kemenangan” kabur.

    Lembaga think-tank internasional dan Israel sendiri menyoroti, menekan kemampuan Hamas secara militer bisa dilakukan, tetapi “mengeliminasi” total organisasi di ekosistem Gaza tanpa arsitektur politik penerus nyaris mustahil.

    Kekaburan “siapa memerintah Gaza setelah perang” menjadi penghambat strategis utama. Washington berulang kali menekan agar ada rencana “day-after”; berbagai skema digodok—dari tata kelola internasional sementara, pemerintah teknokrat, hingga peran Otoritas Palestina (PA)—namun tidak ada konsensus operasional yang diterapkan.

    Ketika tujuan akhir politik tidak solid, operasi militer cenderung berputar dalam siklus “bersihkan-tinggalkan-kembali lagi”.

    3. Dinamika Sandera: Kendala Etis, Politik, Operasional

    Keberadaan sandera Israel di Gaza menciptakan batasan kuat terhadap opsi militer. Setiap keputusan eskalasi bisa memperburuk keselamatan sandera dan memicu tekanan domestik agar pemerintah memprioritaskan deal daripada ofensif.

    Hingga Agustus 2025, laporan media dan pernyataan resmi menyebut puluhan sandera masih tertahan—dengan estimasi sekitar 20 yang masih hidup—sementara negosiasi gencatan senjata berkali-kali maju-mundur.

    Hamas memanfaatkan variabel sandera sebagai leverage strategis untuk menunda, menukar, atau membatasi operasi Israel.

    4. Biaya Manusia dan Tekanan Hukum Internasional

    Operasi besar Israel di Gaza memicu korban sipil dan kehancuran infrastruktur dalam skala yang memantik kecaman global dan intervensi institusi internasional.

    UN OCHA secara berkala mendokumentasikan korban sipil dan kehancuran layanan esensial; tekanan ini bukan sekadar reputasional—ia menular menjadi pembatas politik terhadap durasi, intensitas, dan jenis amunisi/operasi yang dapat digunakan Israel.

    Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan beberapa perintah tindakan sementara (provisional measures) terkait kewajiban mencegah tindakan genosida dan menjamin bantuan kemanusiaan; putusan-putusan ini menjadi rujukan diplomatik yang terus menapak di forum internasional.

    Selain itu, kebocoran/analisis data dan liputan investigatif tentang proporsi korban sipil—ditambah rekor tragis tewasnya pekerja kemanusiaan—menguatkan arus kritik dan sanksi normatif.

    Hal ini mempersempit ruang gerak Israel, misalnya lewat penundaan atau peninjauan bantuan persenjataan oleh mitra kunci seperti Amerika Serikat pada momen tertentu tahun 2024, seraya menambah beban diplomatik dalam mempertahankan kampanye berkepanjangan.

    5. Hambatan Logistik di Wilayah Porak-poranda

    Menyerbu kota itu satu hal; menahannya, menstabilkan, dan membangun ulang—sambil mencegah insurgensi—adalah hal lain yang jauh lebih berat.

    Untuk benar-benar “menaklukkan” Gaza, Israel memerlukan kontrol intensif blok-demi-blok plus solusi stabilisasi sipil: layanan air, listrik, kesehatan, keamanan lokal, distribusi bantuan—di tengah populasi yang hampir seluruhnya mengungsi berulang kali.

    OCHA melaporkan perpindahan paksa yang masif dan runtuhnya layanan publik; dalam kondisi demikian, pasukan Israel harus mengalokasikan personel besar untuk tugas non-tempur (pengamanan rute, de-mining, pengawalan bantuan, pengelolaan kerumunan).

    Setiap jeda atau rotasi membuka peluang infiltrasi kembali pejuang bawah tanah.

    Lebih jauh, karena banyak infrastruktur hancur, setiap “zona aman” yang dibentuk sementara rentan kolaps ketika artileri/serangan udara berlanjut—atau ketika bantuan macet.

    Siklus ini menghasilkan operasi berulang (“re-clear”) di distrik yang sama, menguras stamina pasukan, menambah risiko korban, dan merusak legitimasi operasi.

    6. Kerugian Militer Israel

    Walau Israel secara umum unggul daya tembak dan teknologi, perang kota dan terowongan memaksa IDF berhadapan jarak dekat, meningkatkan kerentanan terhadap IED, penembak runduk, dan sergapan.

    Data resmi dan ringkasan OCHA menunjukkan ratusan prajurit Israel tewas dan ribuan luka sejak operasi darat Oktober 2023; angka ini, meski lebih kecil ketimbang korban di pihak Palestina, tetap menimbulkan tekanan domestik, terutama di tengah mobilisasi reservis berkepanjangan.

    Hamas—dan jaringan faksi lain—tidak perlu “menang telak”; cukup bertahan, melukai, dan memaksa operasi Israel berputar untuk mencapai tujuan politiknya: kelangsungan eksistensi dan narasi perlawanan.

    7. Kesenjangan Intelijen dan Adaptasi Lawan

    Kampanye udara/ISR awal memang memukul target-target bernilai tinggi, namun Hamas beroperasi secara desentralisasi dan adaptif: komando berpindah ke bawah tanah, komunikasi berlapis, dan struktur sel yang luwes.

    Setiap kali Israel menyatakan “membersihkan” wilayah tertentu, sel-sel baru dapat muncul dari poros yang belum tersentuh atau dari terowongan yang tidak terdeteksi.

    Karena jaringan sipil dan militer melebur—gudang, pos komando, atau lubang akses berada dekat fasilitas sipil—akurasi intelijen tak serta merta menerjemah ke efek operasional yang bersih tanpa collateral.

    Inilah alasan mengapa wilayah “dikuasai” sering kembali menjadi ajang kontak senjata beberapa minggu/bulan kemudian.

    8. Variabel Eksternal: Tekanan Sekutu, Embargo Selektif, Opini Publik

    Israel sangat bergantung pada dukungan diplomatik dan logistik sekutu. Ketika korban sipil melonjak, Washington pada beberapa momen 2024 meninjau/menahan pengiriman munisi tertentu (khususnya bom besar) terkait kekhawatiran operasi besar di Rafah; isu ini mencerminkan bagaimana kampanye Gaza tak bisa dipisah dari politik sekutu.

    Selain AS, tekanan dari Eropa dan PBB—termasuk seruan gencatan senjata, evaluasi legal, dan dorongan “day after”—menciptakan pagar pembatas terhadap sejauh mana Israel dapat memperluas, memperdalam, dan memperlama operasi.

    Hasilnya: kampanye sering diinterupsi jeda, negosiasi, dan kompromi yang memberi lawan waktu untuk beradaptasi.

    9. Lingkaran Setan Kemanusiaan-Keamanan

    Keruntuhan layanan dasar (air, pangan, kesehatan) dan perpindahan massal (berkali-kali) menambah penderitaan warga dan memicu kemarahan publik regional/global.

    Krisis kemanusiaan besar juga memperumit operasi kontra-insurgensi: ketika penduduk menjadi lebih putus asa, kerja sama warga untuk memberi intel kepada pasukan asing/pendudukan turun; legitimasi aktor bersenjata lokal di sebagian komunitas justru bisa naik.

    Sejumlah analisis menyimpulkan tanpa jalan keluar politik yang kredibel, operasi militer justru “menggiling” tanpa keputusan, sementara jaringan pro-Hamas dapat kembali merekrut dan menyusun ulang.

    10. Politik Domestik Israel dan Kalkulus Keputusan

    Perang panjang menggerus kesabaran publik dan meruncingkan perbedaan di elite Israel: antara prioritas membebaskan sandera vs mendorong ofensif lanjutan, antara ekspansi operasi vs menghindari isolasi internasional.

    Ketika perhitungan politik domestik bercampur dengan keputusan militer, konsistensi strategi bisa terganggu—contoh: dorongan ofensif besar di Gaza City yang berjalan paralel dengan sinyal membuka kembali perundingan gencatan senjata/pertukaran sandera.

    Ambivalensi seperti ini membuat lawan dapat bermain waktu, sementara pasukan di lapangan menghadapi siklus operasi yang melelahkan.

    Baca juga: PM Israel Perintahkan Negosiasi untuk Bebaskan Seluruh Sandera dan Akhiri Perang Melawan Hamas

    (sya)

    Komentar
    Additional JS