Jenderal IRGC Ungkap Alasan Rusia dan China Tak Bantu Iran Melawan Israel | SINDOnews
Dunia Internasional, Konflik Timur Tengah,
Jenderal IRGC Ungkap Alasan Rusia dan China Tak Bantu Iran Melawan Israel | SINDOnews | OPSIIN
Rusia dan China tak bantu Iran dalam perang 12 hari melawan Israel pada Juni lalu. Foto/Screenshot China Central Television
- Seorang jenderal Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menjawab pertanyaan kontroversial mengapa Rusia dan China tidak membantu
Irandalam perang 12 hari melawan Israel pada Juni lalu. Jawaban dari pertanyaan itu adalah karena Teheran tidak meminta bantuan militer dari kedua negara yang dianggap sekutu Iran tersebut.
Deputi Urusan Politik IRGC Iran, Brigadir Jenderal Yadollah Javani, dalam sebuah video mengatakan Teheran tidak meminta bantuan militer dari China atau pun Rusia. Dia menambahkan bahwa perjanjian kerja sama jangka panjang yang ada dengan kedua kekuatan tersebut tidak mencakup kewajiban pertahanan bersama.
Selama perang 12 hari, Amerika Serikat ikut campur dengan ikut mengebom tiga situs nuklir Iran; Natanz, Fordow, dan Isfahan.
Tuduh China Langgar Perjanjian Dagang, Trump Ingin Segera Ngobrol dengan Xi Jinping - inews
Baca Juga: Iran Tuntut Kompensasi karena Situs Nuklirnya Dibom, AS: Sungguh Menggelikan
“Beberapa orang di masyarakat bertanya selama perang mengapa China dan Rusia, yang memiliki perjanjian kerja sama 25 dan 20 tahun dengan kami, tidak membantu kami,” kata Javani.
“Jawabannya adalah bahwa sifat perjanjian-perjanjian ini tidak mencakup pertahanan bersama atau kewajiban bagi salah satu negara untuk memasuki perang atas nama negara lain," paparnya, seperti dikutip dari Iran International, Senin (4/8/2025).
Javani menekankan bahwa Iran tidak mencari dukungan militer dari luar selama konflik. “Republik Islam tidak meminta bantuan dari negara mana pun—bahkan dari anggota Poros Perlawanan,” ujarnya, merujuk pada pasukan milisi yang didukung Teheran di seluruh kawasan Timur Tengah.
Menanggapi anggapan bahwa perjanjian jangka panjang dengan Beijing dan Moskow menyiratkan dukungan militer bersama, Javani mengatakan: “Ini adalah perjanjian kerja sama yang melibatkan kolaborasi militer, penjualan senjata, dan bidang-bidang lainnya. Namun, tidak seperti pakta keamanan formal, perjanjian ini tidak mewajibkan para pihak untuk saling membela di masa perang.”
Dia lantas memberikan analogi: "Misalnya, kita memiliki perjanjian kerja sama militer dengan Moskow, tetapi ketika Rusia memasuki perang dengan Ukraina, kita tidak berkewajiban untuk mendukung mereka, dan demikian pula, mereka tidak berkewajiban untuk bergabung dengan kita dalam konflik apa pun."
Komentar tersebut muncul di tengah perdebatan di media dan kalangan politik Iran mengenai apa yang dianggap sebagian orang sebagai tanggapan suam-suam kuku dari mitra strategis Iran.
Selama konflik, Rusia mengecam serangan udara AS terhadap target-target Iran sebagai "tidak dapat dibenarkan" dan "agresif", sementara China menyerukan pengendalian diri dan dialog. Keduanya tidak memberikan bantuan material maupun militer apa pun.
Media pemerintah dan para pejabat Iran menggambarkan konflik tersebut, yang berlangsung hampir dua minggu, sebagai ujian signifikan bagi kemampuan pertahanan Iran serta aliansi diplomatiknya.
Harian Jomhouri-e Eslami dalam editorialnya baru-baru ini mengkritik Kremlin atas sistem pertahanan udara S-400 yang telah lama dijanjikan tetapi belum terkirim.
Editorial yang sama mempertanyakan apakah China akan mengambil langkah konkret untuk mengatasi kerentanan pertahanan Iran—atau apakah perjanjian kerja sama strategis 20 tahun itu akan tetap, menurut mereka, "hanya selembar kertas".
Meskipun demikian, Javani membela peran Rusia selama perang. "Presiden Vladimir Putin telah melakukan upaya diplomatik dan politik yang luar biasa untuk mendukung Republik Islam di forum-forum internasional," ujarnya.
"Tindakan-tindakan seperti inilah yang kami harapkan di tingkat politik, dan beliau telah mewujudkannya," paparnya.
(mas)